Monday, August 13, 2007

Emak

Sebentar, ada yang tertinggal.

Ah, kita lupa meratapi hari, Mak


Kita lupa berpura-pura menjerang air

Dan berlagak makan enak


Kita juga lupa, bapak tadi pamit kemana

Maksudku, ke gua garba yang mana lagi,

Ia coba sedekahkan mani-maninya


Tapi Mak, semoga hari ini aku tak lupa

Membaca tuhan,

Pada air muka-mu.

Sedang berusaha membuat puisi sederhana yang tidak liris dan tidak pula mendayu-dayu. Gara-gara membuka kembali Pacar Senja-nya Jokpin, nih.

Saturday, July 14, 2007

Pulang


Kuutarakan padamu sesore itu

Sebuah aforis mengenai peta berahi

Coba bingkai marut perkelaminan


Aku hanya ingin pulang.

Mengelanyut manja pada puisi yang berserak

Berkelakar kena kesejajaran,

Atas frasa yang kita telusuri adanya


Aku ingin pulang,

Berbincang gamang sedepa bentang

Tentang sebuah narasi kehilangan


Ah, aku ingin pulang.

Bukan berkalang.

Bukan berpulang.


buat seorang penyair di seni pertunjukkan ISI. Yang juga seorang pelacur.



Maaf, Kelaminku Bukan Untukmu.


Semalam, dingin benar.

Demikian kita membilang


Semalam, kita sudah didepan losmen kaliurang

Dan aku bilang, aku tak mau

Bukannya takut, apalagi malu


Sudah kubilang, aku bukan mereka

Sudah kukata, aku berbeda


Bangsat tampanku,

Inilah caraku,

inilah asketis yang terusung

Tetapi maaf, kelaminku bukan untukmu


Bangsat tampanku, Kau lupa bahwa aku adalah perempuan yang bergerak dalam mencari entitas bernama : Ada. Memang benar adanya, bahwasanya kau adalah satu2nya lelaki yang kuingini. Tetapi maaf, aku menghargai kelaminku. Aku menghargai : Ada. Di lain waktu, berhati-hatilah terhadap perempuan sepertiku.

Dan aku pun semakin memaknaimu..

Friday, June 8, 2007

Lelaki di Bawah Pohon Ara



Kau masih disana;

di bawah pohon Ara.


Aku begitu menikmati kemasyukanmu

Pemapar sajak-sajak merah benaman koma

Penghayat sang Ada di kedalaman rancu,

Memburai untuk dedahkan harakat lalu


Ah, lelakon apalagi yang sedang kau mainkan, sayang?

Mengeja sayup menjadi kebisingan yang bungkam

Mencipta keterdiaman, diam yang bisu.

Selinap senyap di titi waktu


Aku menemuimu, di batas lengkung rona

mencecap embun yang coba tawarkan rasa

Seruak sepanjang makrifat benoa


Dan kau Lelaki, masih disana;

Termangu di bawah pohon Ara


Yogyakarta, 8 juni 07. 00.21

Buat mas gondrong yang sedang nyantri di Pondok Pesantren Institut Seni Indonesia, ini pesenan puisinya...

Tanpa Mati


Tuhan...,

Ingin sekali meleburkan diri,

Ingin sekali bersua Al masih

Ingin sekali rengkuh keterhayatan langit


tapi...

ku mohon....,

Tanpa mati.

Thursday, May 3, 2007

Genduk

Nduk,

Kuajari kau mengeja harakat hari,

Biar nanti aku bisa melihatmu menari

Untuk kemudian pergi


Ayo Nduk,

Mari kumainkan nada gitar sumbang,

Dan lantunkan pukau suaramu

Untuk kenang, bahwa aku pernah mempunyaimu


Nduk genduk,

Kuajari kau mengudap peri

Jika hari begitu sombong,

Dan kau pun tegak oleh sokong


Nduk-ku,

perempuan arus-ku,

Yang olehmu waktu tak akan tergerus..

Djokja, 2 mei 07. 23.35.

Abang, Nduk-mu kini telah berdikari. Selamat menikmati jalan sufi-mu, abangku yang sangat tampan. Dan aku telah sangat mengecewakanmu, bukan?

Mandul


; yang katanya mahasiswa

Terbaik, bukan lekukan garis

Dalam titi sebuah hitam hegemoni

Sang bodoh yang berkitar,

Cermin yang tak lagi memantul,

Mandul.

Menipisnya usang,

Dianggapnya sebagai tawa kemajuan

Aku marah, aku gelisah.

Tak lagi lantang

Tak lagi mengoceh merah

Rupanya mahasiswaku bisu

Dan, mandul.

Lelaki yang merindui malam


aku sangat menyukai malam,

dan aku sangat mencintaimu, malaikatku

tuturmu ketika itu, sedikit parau


ihwal sebab malam mengupas belah kenangan

mengkhayal kekal sorai batang hari,

awal mula sendu beruntai urai untukmu


malam ini, kuingat kau

kuingat malam-malam yang telah kita telanjangi pekatnya

kuingat pula lepas tawa-tawa kemenangan kita

Tapi ah, aku malu.

Sebab pada malam pula tabir kupakai,

Sebab pada malam pula topeng kupakai,

Aku palsu.

Djokdja, 12 Februari

Monday, April 30, 2007

kerinduan, tanpa syarat, tanpa beban..

Coba kutiti ukir mata.
Mata sayu yang menatapku padu.
Padan di jora. Sorai yang jontai.
Angin gunung kuncup mimpi.
Angin gunung yang kuyakin kelak kan mencium mataku.
Termohon atas beda.
Kau selatan dan aku utara, Bung.
Sua yang sepi. Adalah hari terakhir aku melihatmu.

Kerinduan, lurus dan mendalam.
Pun itu. Bukan cinta, Bung.
Ini rindu. Sekali lagi, ini rindu.
Pengap tapi membebaskan.
Layaknya terali parodi.
Aha, kita memang tengah berparodi.
Lanskap burai wajah topeng.
Carut marut coba benahi.
Kupikir bukit golgota dan padang mahsyar untai satu kidung.

Tak senandung. Ujar parau.
Lelaki di tribun kiri, tuai dari cawan suci.

Ah, malam ini kumengelantur lagi.
kota itu semoga tidak mengubahmu..
tau kah kau, kurindu...

yogyakarta, 21 maret 07

lelaki datang dan pergi. aku tak peduli. aku tak pernah percaya cinta pada pandangan pertama. tapi aku mengimani napsu pada pandangan pertama. kalau aku merindukanmu, itu karena tulisanmu. bukan karena apa..

Thursday, April 12, 2007

emotif

Serupa berbilang garis,
berbilang titik, koma dan tepian
telah bersenyawa bersama puing, engkau
Mengerus huruf,
Mengais gigir angan kotak,
Dan pada akhirnya...,
Manusia ini kolaps pada kata menyerah..

Menimpa tepian koyak,
Yang tak mudah untukku menuai.
Atas pembanding batas,
Mungkin itu bukan aku, ibumu..

27 Mei, nak..

tidurlah bersua pangku tuhan dalam harimu..

untuk seorang-tua, yang kutemui, di piyungan, dua bulan silam. untuk ibuku, yang selalu khawatir atas anak perempuannya yang selalu dekat dengan kematian. bahwa kematian milik tuhan, Ma.

Wanita yang Bergelut dengan Alam Pikirnya

Di ujung canting,

Dalam cawan kedewasaan perempuan

Mengaduk hangat uap pasrah

Bergelut pun, kini beralih menjadi sebuah beku

Samar-samar, bahkan tidak membayang

Alibi merah tak lagi membenarkan

Mencoba merinai dalam dikotomi searah

Dan mungkin bersenyawa bersama requiem nafas

Itulah kamu, dalam pantulan,

Dini itu,

Kamu bilang, aku perempuan

Kamu bilang : jangan panggil aku wanita

Lalu aku bilang, apa bedanya?

Apa beda jika dikari tak lagi senjatamu?

Apa beda jika kau bukan lagi rumput liarku, Sayang?


Yogyakarta, 13 mei 2005

adalah sebuah pengantar, sebuah titi hari

Kisah Persetubuhan Yang Malang

Bangunlah Bang,

anakmu mengoceh lindap kembang

imamat tua rinai gigir ambang


aih, abang..

si arak abangan, si kere jalang

tercium untuk kubuang, lanang..


bangunlah, bang,

ladang golgota urai palang dan ilalang

mengelangut rambang

atas sebuah kisah persetubuhan yang malang..


puisi ini saya bawakan pada acara pembacaan puisi di Kedai Kebun art space, yang diadakan setiap hari minggu pertama di tiap bulannya.